PERANAN BAHASA SEBAGAI ALAT BERPIKIR
Batas bahasaku adalah batas duniaku (Wittgenstein, 1992). Manusia untuk dapat melakukan kegiatan berpikir dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dengan menguasai bahasa maka seseorang akan menguasai pengetahuan.
Tiada kemanusiaan tanpa bahasa, tiada peradaban tanpa bahasa tulis. Manusia tidak berpikir hanya dengan otaknya (Laird, 1989). Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia. Bahasa juga memberikan urunan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa. Dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari suatu organisme biologis menjadi suatu pribadi di dalam kelompok, yaitu suatu pribadi yang berpikir, merasa berbuat, serta memandang dunia dan kehidupan sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Tiada kemanusiaan tanpa bahasa, tiada peradaban tanpa bahasa tulis. Manusia tidak berpikir hanya dengan otaknya (Laird, 1989). Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia. Bahasa juga memberikan urunan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa. Dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari suatu organisme biologis menjadi suatu pribadi di dalam kelompok, yaitu suatu pribadi yang berpikir, merasa berbuat, serta memandang dunia dan kehidupan sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasanya. Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak, seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tidak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis. Transformasi objek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa (informatif dan emotif) ini tercermin dalam bahasa yang kita gunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif.
Bahasa mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap. Seperti yang dinyatakan Kneller (dalam Kemeny, 1990) bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbatas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun, dalam praktiknya hal ini sukar untuk dilaksanakan. Berbeda dengan informasi yang terdapat dalam buku pedoman telepon dari Telkom misalnya, informasi atau petunjuk nomor telepon yang ada di dalamnya mudah dicari.
Max Muller (dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura, 1999) mengatakan bahwa tak ada bahasa tanpa nalar dan tak ada nalar tanpa bahasa. Yang jelas, sulit sekali memisahkan kegiatan penalaran dan bahasa sebagai sasarannya. Huxley (dalam Suriasumantri, 1997) mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran pemakainya mempunyai kekuatan membentuk pikiran itu serta menyalurkan perasaan, mengerahkan kehendak dan perbuatan. Sampai tingkat tertentu, bahasa mengendalikan pemikiran. Pengaruh tersebut sangat kuat pada usia muda.
Max Muller (dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura, 1999) mengatakan bahwa tak ada bahasa tanpa nalar dan tak ada nalar tanpa bahasa. Yang jelas, sulit sekali memisahkan kegiatan penalaran dan bahasa sebagai sasarannya. Huxley (dalam Suriasumantri, 1997) mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran pemakainya mempunyai kekuatan membentuk pikiran itu serta menyalurkan perasaan, mengerahkan kehendak dan perbuatan. Sampai tingkat tertentu, bahasa mengendalikan pemikiran. Pengaruh tersebut sangat kuat pada usia muda.
Secara umum Halliday (1978) mengemukakan sejumlah fungsi bahasa, di antaranya adalah sebagai sarana untuk menafsirkan pengalaman, untuk mengklasifikasikan fenomena yang tak terbatas jumlahnya. Baik di dalam maupun di sekitar manusia serta untuk menyatakan berbagai relasi khusus yang mendasar sifatnya.
Mengenai bahasa anak-anak, Halliday (1978) menunjuk tujuh fungsi awal yaitu fungsi-fungsi instrumental, regulatoris, interaksional, personal, penjelajahan, imajinatif, dan informatif. Fungsi-fungsi itu menunjukkan bahwa anak dapat menggunakan bahasa, baik sebagai sarana berpikir secara nalar maupun secara kreatif.
Fungsi-fungsi di atas mudah terpenuhi karena bahasa merupakan sistem simbol. Simbol-simbol yang pada dasarnya berupa bunyi bahasa itu ternyata sangat praktis, dapat dikombinasikan menjadi “kata-kata baru”. Gabungan kata-kata menghasilkan frasa dan kalimat yang tak terbilang jumlahnya. Dengan satu kalimat, anak dapat menggambarkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang mungkin hanya dapat diandalkan. Anak bahkan dapat bermain dengan bunyi-bunyi dan kata-kata.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materi bahasa dapat digunakan sebagai materi berpikir secara nalar maupun secara kreatif. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dapat dijadikan sarana pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan secara kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar